Jumat, 18 Februari 2011

kreativitas siswa

JIKA diamati, proses pembelajaran yang harus dikembangkan guru-guru dalam Kurikulum 2004 atau lebih dikenal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai diterapkan secara serentak pada tahun ajaran 2004/2005, salah satu di antaranya menekankan kepada upaya mengembangkan kreativitas siswa secara optimal.

Begitu pentingnya pengembangan kreativitas siswa tersebut dapat diamati dari bergesernya peran guru yang semula sering mendominasi kelas, kini harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran lebih aktif dan kreatif dalam suasana yang menyenangkan (learning must be enjoy). Bagaimanapun akan sulit membangun pemahaman yang baik pada para siswa, jika fisik dan psikisnya dalam keadaan tertekan.

Kreativitas siswa dimungkinkan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan sekolah, turut menunjang mereka dalam mengekspresikan kreativitasnya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Utah AS dan Klaus Urban dari Universitas Hannover Jerman pada Agustus 1987 terhadap anak-anak berusia 10 tahun (dengan sampel 50 anak-anak di Jakarta), menunjukkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak Indonesia yang terendah di antara anak-anak seusianya dari 8 negara lainnya. Berturut-turut dari skor tertinggi sampai terendah adalah Filipina, AS, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu ,dan Indonesia.

Hampir dapat dipastikan bahwa semua materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa, mulai taman kanak-kanak hingga jenjang pendidikan tinggi, menuntut kreativitas para siswanya. Kreativitas bukan hanya dalam lingkup pelajaran kesenian (seni rupa, seni musik, seni pahat), tetapi dalam pelajaran lain pun seringkali menuntut kreativitas yang tinggi.

Roger B. Yepsen Jr. (1996) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kapasitas untuk membuat hal yang baru (creativity is the capacity for making something new). Menurut Mihaly Csikszentmihalyi (1996) bahwa orang yang kreatif adalah orang yang berpikir atau bertindak mengubah suatu ranah atau menetapkan suatu ranah baru (a create person is someone whose thoughts or actions change a domain, or establish a new domain). Berdasarkan pendapat itu, kemampuan memunculkan dan mengembangkan gagasan, ide-ide baru sebagai pengembangan dari ide-ide yang telah lahir sebelumnya, memecahkan masalah secara divergen (dari berbagai sudut pandang) seperti pada pelajaran matematika dan IPA dan banyak lagi hal lainnya, menuntut kreativitas dan partisipasi siswa secara aktif.

Hasil studi Jordan E. Ayan (1997) menggambarkan bahwa semasa bayi tingkat kreativitas umumnya masih tinggi, kemudian berkurang dan memudar justru pada saat anak-anak mulai bersekolah. Menurutnya, anak-anak dalam jumlah dua puluh hingga tiga puluhan (bahkan empat puluhan) duduk berderet serta diharuskan tunduk dan patuh pada peraturan dan prosedur yang kaku yang justru membatasi keterampilan berpikir kreatif.

Menapaki dunia pendidikan ke jenjang berikutnya pelan tapi pasti wahana untuk berkembangnya kreativitas justru semakin sempit, kreativitas semakin terpasung. Untuk itu, jangan heran jika selepas menyelesaikan sekolahnya, mereka sukar beradaptasi pada dunia pekerjaannya atau pada lingkup kehidupan kesehariannya oleh karena miskinnya kreativitas yang dimiliki.

Tidak bisa disangkal bahwa kehidupan di era globalisasi sekarang ini telah menyeret para siswa dan anak-anak kita, umumnya yang hidup di perkotaan, oleh pemanjaan berbagai kebutuhan hidup yang serba instant. Jika hal ini tidak disikapi dan diantisipasi sedini mungkin, tidak menutup kemungkinan akan menjadikan salah satu penyebab terhambatnya perkembangan kreativitas mereka.

Di lingkungan sekolah perlu diupayakan suatu iklim belajar yang menunjang pendayagunaan kreativitas siswa. Untuk itu, guru-guru perlu memperhatikan beberapa hal.

(1) Bersikap terbuka terhadap minat dan gagasan apapun yang muncul dari siswa. Bersikap terbuka bukan berarti selalu menerima tetapi menghargai gagasan tersebut. (2) Memberi waktu dan kesempatan yang luas untuk memikirkan dan mengembangkan gagasan tersebut. (3) Memberi sebanyak mungkin kesempatan kepada siswa untuk berperan serta dalam mengambil keputusan. (4) Menciptakan suasana hangat dan rasa aman bagi tumbuhnya kebebasan berpikir eksploratif (menyelidiki). (5) Menciptakan suasana saling menghargai dan saling menerima, baik antar siswa maupun antar guru dan siswa. (6) Bersikaplah positif terhadap kegagalan siswa dan bantulah mereka agar bangkit dari kegagalannya tersebut.***Senin, 10 Januari 2005

Penulis, Guru Pembina di SMAN 1 Karangpawitan Garut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar